Pasal 59
Perwujudan kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b dilakukan melalui:
a.   Penetapan kawasan yang dijadikan hutan rakyat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.  penyusunan peraturan atau instruksi yang berkaitan dengan ketentuan pemanfaatan ruang di kawasan hutan rakyat; dan
c.   sosialisasi perwujudan kawasan hutan rakyat.


Pasal 60
Perwujudan kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b dikembangkan melalui:
a.  pengembangan Peraturan Daerah;
b.  penyusunan Peraturan Daerah tentang pemberian kredit pinjaman bagi Petani;
c.  penyusunan Peraturan Daerah tentang harga pupuk, obat-obatan, dan bibit;
d.  pembangunan sentra budidaya pertanian;
e.  studi kelayakan pengembang sentra budidaya tanaman lahan kering, lahan Basah, peternakan, dan perikanan;
f.   pelaksanaan pembangunan sentra budidaya benih dan bibit unggul tanaman pertanian, peternakan, dan perikanan;
g.  penguatan lembaga petani terkait dengan pengelolaan air (irigasi), pengadaan saranan produksi, panen dan pengolahan pasca panen termasuk pemasaran; dan
pelaksanaan pembangunan koperasi/pasar khusus pertanian


Pasal 61
Perwujudan kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf c dilakukan melalui:
a.  identifikasi kawasan perkebunan yang masih potensial;
b.  identifikasi kawasan perkebunan yang sudah tidak diperpanjang ijin operasinya;
c.  pengembangan tanaman tahunan pada daerah yang memiliki kemiringan diatas 25%; dan
d.  peningkatan produktifitas produksi perkebunan dan tanaman tahunan melalui intensifikasi lahan.


Pasal 62
Perwujudan kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf d dilakukan melalui:
a.  identifikasi kawasan perikanan yang masih potensial;
a.  peningkatan produktifitas produksi perikanan;
b.  pengembangan sentra budidaya perikanan air tawar;
c.  pembangunan kawasan pengelolaan ikan;
d.  pembangunan Tempat Pelelangan Ikan (TPI);
e.  pengadaan Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap; dan
f.   terhadap perkembangan kegiatan budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba, perkembangannya sangat perlu dikendalikan dan dibatasi karena berpotensi menyebabkan pencemaran air.


Pasal 63
Perwujudan kawasan peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf d dilakukan melalui:
a.  pengembangan sentra peternakan ternak besar (sapi dan kerbau) di Kabupaten Samosir sesuai dengan potensi yang ada berada di Kecamatan Ronggur Nihuta, Kecamatan Harian dan Kecamatan Palipi;
b.  pengembangan sentra peternakan ternak kecil (babi, kambing & domba) seluruh kecamatan di Kabupaten Samosir, terutama di Kecamatan Nainggolan, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kecamatan Harian dan Kecamatan Simanindo;
c.  Pengembangan dan perlindungan ternak kambing putih spesies endemik wilayah Kabupaten Samosir, pengembangan ini dilakukan di Kecamatan Harian.

Pasal 64
Perwujudan kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf f dilakukan melalui :
a.  Pembangunan sentra industri pertambangan dan bahan galian harus sesuai dengan wilayah usaha pertambangan (WUP) yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.  studi kelayakan dan penataan pengembangan sentra industri pengolahan pertambangan dan galian;
c.  pembangunan industri pengolahan pertambangan;
d.  pembangunan sentra penyedia kebutuhan pertambangan; dan
e.  fasilitasi pertambangan dan galian.


Pasal 65
Pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf i meliputi:
a.  pengembangan kegiatan permukiman kepadatan tinggi;
b.  pengembangan kegiatan permukiman kepadatan sedang;
c.  pengembangan kegiatan permukiman kepadatan rendah;
d.  pembangunan kasiba dan lisiba;
e.  pembangunan dan peningkatan fasilitas  permukiman; dan
f.   pembangunan dan peningkatan utilitas permukiman.


Pasal 66
Pengembangan kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf h meliputi:
a.  penyusunan rencana pengembangan pariwisata daerah;
b.  pembangunan sarana dan prasarana pariwisata secara terpadu;
c.  pengembangan Infrastruktur pendukung pariwisata;
d.  pengembangan objek pariwisata ;
e.  pembangunan pariwisata terpadu;dan
f.   pengembangan Pemasaran dan Promosi Wisata.


Pasal 67
Pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf i meliputi:
a.        pengembangan kegiatan permukiman kepadatan tinggi;
b.        pengembangan kegiatan permukiman kepadatan sedang;
c.         pengembangan kegiatan permukiman kepadatan rendah;
d.        pembangunan kasiba dan lisiba;
e.         pembangunan dan peningkatan fasilitas permukiman; dan
f.          pembangunan dan peningkatan utilitas permukiman.



Bagian Keempat
Perwujudan  Kawasan Strategis

Pasal 68
(1)  Perwujudan kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. kawasan strategis kepentingan pertumbuhan ekonomi;
b. kawasan strategis kepentingan pertumbuhan geologi, sosial dan budaya;
c. kawasan strategis kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; dan
d. kawasan strategis lainnya.
(2)  Kawasan strategis kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
  1. pengembangan sentra perdagangan dan jasa;
  2. peningkatan pelayanan jaringan utilitas sebagai pendukung perkembangan kawasan perkotaan;
  3. peningkatan pelayanan fasilitas sosial dan umum kawasan perkotaan;
  4. pengembangan kawasan-kawasan yang menjadi sentra industri;
  5. pengembangan kawasan agropolitan;
  6. pengembangan kawasan minapolitan;
  7. penyusunan rencana detail tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan;
  8. pembangunan dan peningkatan pelayanan jaringan jalan menuju akses pusat kota dan sentra produksi.
(3)  Kawasan strategis kepentingan pertumbuhan geologi, biologi, sosial dan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
  1. Peningkatan sarana dan pelayanan jaringan utilitas di sekitar lokasi kawasan strategis;
  2. Pembangunan dan peningkatan pelayanan jaringan jalan dari dan menuju lokasi pembangunan kawasan strategi;
  3. penyusunan rencana detail tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan; dan
  4. Peningkatan fasilitas pendukung di sekitar lokasi kawasan strategis.
(4)  Kawasan strategis kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
  1. Pelestarian kawasan lindung di kawasan strategis;
  2. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata yang berwawasan lingkungan.

BAB VII
KETENTUAN UMUM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 69
Arahan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan sebagai upaya untuk mewujudkan tertib ruang melalui:
a.   ketentuan umum peraturan zonasi;
b.   ketentuan perizinan;
c.   ketentuan pemberian insentif dan disinsentif; dan
d.   arahan sanksi.


Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Pasal 70
(1)  Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a disusun sebagai arahan dalam penyusunan peraturan zonasi yang meliputi :
a.  pemanfaatan ruang yang diijinkan dalam peraturan zonasi;
b. pemanfaatan ruang yang diijinkan secara terbatas dalam peraturan zonasi;
c.  pemanfaatan ruang yang diijinkan bersyarat dalam peraturan zonasi; dan
d. pemanfaatan ruang yang dilarang dalam peraturan zonasi.
(2)  Peraturan zonasi, intensitas pemanfaatan ruang, prasarana dan sarana minimum dan/atau ketentuan lain yang dibutuhkan berupa ketentuan khusus,secara lebih lanjut ditetapkan melalui Peraturan Daerah.
(3)  Ketentuan umum peraturan zonasi terdiri atas:
a.  ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung;dan
b.  ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya.
(4)  Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi;
a.   kawasan hutan lindung;
b.   Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c.   kawasan perlindungan setempat;
d.   kawasan cagar budaya;
e.   kawasan rawan bencana alam;
f.    kawasan lindung geologi; dan
g.   kawasan lindung lainnya.
(5)  Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ,meliputi;
a.     kawasan peruntukan hutan produksi;
b.     kawasan hutan rakyat;
c.     kawasan peruntukan pertanian;
d.     kawasan peruntukan peternakan;
e.     kawasan peruntukan perkebunan;
f.      kawasan peruntukan perikanan;
g.     kawasan peruntukan pertambangan;
h.    kawasan peruntukan industri;
i.      kawasan peruntukan pariwisata; dan
j.      kawasan peruntukan permukiman.


Pasal 71
(1)  Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) huruf a, disusun dengan ketentuan:
a.  Pemanfaatan ruang kawasan hutan lindung untuk wisata alam diperbolehkan tanpa merubah bentang alam;
b.  Pemanfaatan ruang kawasan hutan lindung diperbolehkan secara terbatas dilakukan kegiatan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan
c.  Dalam kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan melakukan kegiatan yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan, luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi.
(2)  Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) huruf b, disusun dengan ketentuan:
a.  diperbolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak merubah bentang alam;
b.  penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan
c.  penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan ijinnya.
(3)  Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) huruf c, disusun dengan ketentuan:
a.  dilarang kegiatan budidaya untuk permukiman dan industri;
b.  diperbolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak merubah bentang alam; dan
c.  dikembangkan sebagai ruang terbuka hijau.
(4)  Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) huruf d, dilarang untuk kegiatan yang berpotensi mengurangi luas atau mengalihfunsikan kawasan cagar budaya.
(5)  Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) huruf e, disusun dengan ketentuan:
a.  diperbolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak merubah bentang alam;
b.  diperbolehkan untuk kegiatan pariwisata tetapi bukan merupakan kegiatan wisata dengan jumlah yang besar; dan
c.  dilarangmembangun bangunan permanen.
(6)  Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) huruf f, adalah mengikuti ketentuan teknis dari kawasan lindung tersebut.



Pasal 72
(1)   Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) huruf a, disusun dengan ketentuan:
a.   tidak mengubah fungsi pokok kawasan peruntukan hutan produksi;
b.   kawasan peruntukan hutan produksi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan dandilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan
c.   sebelum kegiatan pengelolaan, diwajibkan melakukan studi kelayakan dan/atau kajian kelayakan lingkungan atau upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan yang telah disetujui.
(2)   Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Hutan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) huruf b, disusun dengan ketentuan:
a.   tidak mengubah fungsi pokok kawasan peruntukan hutan rakyat; dan
b.   penggunaan kawasan peruntukan hutan rakyat untuk kepentingan lainnya harus dilakukan dengan ketentuan khusus dan secara selektif.
(3)   Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) huruf c, disusun dengan ketentuan:
a.   kawasan pertanian tanaman lahan sawah dengan irigasi teknis dan setengah teknis tidak boleh dialihfungsikan;
b.   kawasan pertanian tanaman lahan kering tidak produktif dapat dialihfungsikan dengan syarat-syarat tertentu yang diatur oleh pemerintah daerah setempat dan atau oleh Kementerian Pertanian;
c.   wilayah yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi ruang;
d.   wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan;
e.   kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan perikanan), baik yang menggunakan lahan luas ataupun teknologi intensif harus terlebih dahulu memiliki kajian studi kelayakan lingkungannya, sesuai dengan peraturan yang berlaku;
f.    penanganan limbah pertanian (kadar pupuk dan pestisida yang terlarut dalam air drainase) dan polusi industri pertanian (udara-bau dan asap, limbah cair) yang dihasilkan harus disusun pengelolaannya dan dapat dipantau sesuai dengan Dokumen Lingkungannya (Amdal atau UKL/UPL), sesuai dengan peraturan yang berlaku;
g.   penanganan limbah perikanan (ikan busuk, kulit ikan/udang/kerang) dan polusi (udara-bau) yang dihasilkan harus disusun pengelolaannya dan dapat dipantau sesuai dengan Dokumen Lingkungannya (Amdal atau UKL/UPL), sesuai dengan peraturan yang berlaku;
h.  kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan perikanan), harus diupayakan menyerap sebesar mungkin tenaga kerja setempat;
i.    pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan; dan
j.    upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan pertanian lahan kering tidak produktif (tingkat kesuburan rendah) menjadi peruntukan lain harus dilakukan tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat.
(4)  Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (5) huruf d, ditetapkan sebagai berikut:
a.   kegiatan peternakan skala besar  baik yang menggunakan lahan luas ataupun teknologi intensif harus terlebih dahulu memiliki izin lingkungan;
b.   penanganan limbah peternakan (kotoran ternak, bangkai ternak, kulit ternak, bulu unggas, dsb) dan polusi (udara-bau, limbah cair) yang dihasilkan menyusun terlebih dahulu Dokumen Lingkungan (AMDAL atau UKL/UPL), sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c.   pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan;
d.   kegiatan peternakan skala besar harus diupayakan menyerap sebesar mungkin tenaga kerja setempat;
e.   kegiatan peternakan babi dikembangkan  dengan syarat jauh dari pusat kota, Jauh dari kawasan permukiman, dikandangkan (tidak dibiarkan berkeliaran), Memiliki sistem sanitasi yang baik, memiliki sistem pengolahan air limbah, memiliki izin lingkungan, tidak ada pertentangan dari masyarakat setempat; dan
f.    kegiatan peternakan walet dikembangkan dengan syarat: Jauh dari pusat kota, Jauh dari kawasan permukiman.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) huruf e, ditetapkan sebagai berikut:
a.   wilayah yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi ruang;
b.   wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan;
c.   upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan perkebunan tidak produktif (tingkat produksi rendah) menjadi peruntukan lain harus dilakukan tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat; dan
d.   pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) huruf f, ditetapkan sebagai berikut:
a.   wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan;
b.   kegiatan perikanan skala besar, baik yang menggunakan lahan luas ataupun teknologi intensif harus terlebih dahulu memiliki izin lingkungan;
c.   penanganan limbah perikanan dan sisa pakan ikan yang tidak termakan ikan, urin dan feses ikan yang mengandung zat organik di dalam perairan yang mengakibatkan perubahan kualitas air, dan  kualitas bau udara yang dihasilkan dari bangkai ikan wajib mengikuti aturan dan peraturan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berlaku;
d.   kegiatan usaha yang diduga berpotensi berdampak penting diwajibkan memiliki dan melaksanakan sesuai yang terdapat di dalam Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) / Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (DPPLH), Dokumen Lingkungan (Amdal) dilengkapi dengan Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Ligkungan (Andal) dan Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), sesuai dengan peraturan yang berlaku sedangkan kegiatan usaha yang berpotensi yang tiidak berdampak penting dan dapat terbalikan diwajibkan menyusun dan melaksanakan sesuai dengan uraian  yang terdapat di dalam Dokumen Lingkungan berupa Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Dokumen Pengendalian Lingkungan (UPL);
e.   Pemilik kegiatan usaha dan/atau pemrakarsa kegiatan usaha diwajibkan melaksanakan kegiatan pemantauan dan evaluasi terhadap trend dampak terhadap lingkungan yang diduga berasal dari hasil akhir kegiatan usahanya;
f.    kegiatan perikanan skala besar, harus diupayakan menyerap sebesar mungkin tenaga kerja setempat;
g.   pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan;
h.  wilayah yang menghasilkan produk perikanan yang bersifat spesifik lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi ruang; dan
i.    upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan perikanan tidak produktif (tingkat produksi rendah) menjadi peruntukan lain harus dilakukan tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) huruf g, ditetapkan sebagai berikut:
a.   Kegiatan usaha pertambangan sepenuhnya harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan;
b.   Diperbolehkan adanya kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan pertambangan;
c.   Diperbolehkan kegiatan permukiman secara terbatas untuk menunjang kegiatan pertambangan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek keselamatan;
d.   Sebelum kegiatan budidaya pertambangan dilakukan, wajib dilakukan studi kelayakan dan kajian kelayakan lingkungan yang disetujui;
e.   Kawasan pasca tambang wajib dilakukan rehabilitasi atau revitalisasi sehingga dapat digunakan kembali untuk kegiatan lain; dan
f.    Pemulihan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan menjadi tanggung jawab pemegang ijin pertambangan.
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) huruf h, ditetapkan sebagai berikut:
a.   Peruntukan kawasan industri diperbolehkan secara terbatas adanya sarana dan prasarana wilayah sesuai ketentuan yang berlaku; dan
b.   Sebelum kegiatan budidaya industri dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan kajian kelayakan lingkungan atau upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan yang disetujui.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) huruf i, ditetapkan sebagai berikut:
a.   kegiatan kepariwisataan diarahkan untuk memanfaatkan potensi keindahan alam, budaya dan sejarah di kawasan peruntukan pariwisata guna mendorong perkembangan pariwisata dengan memperhatikan kelestarian nilai-nilai budaya, adat istiadat, mutu dan keindahan lingkungan alam serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b.   kegiatan kepariwisataan yang dikembangkan harus memiliki hubungan fungsional dengan kawasan industri kecil dan industri rumah tangga serta membangkitkan kegiatan sektor jasa masyarakat;
c.   pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya untuk kepentingan pariwisata, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayan dan agama harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan bangunan cagar budaya tersebut. Pemanfaatan tersebut harus memiliki izin dari Pemerintah Daerah dan atau Kementerian yang menangani bidang kebudayaan;
d.   kegiatan yang diperbolehkan pada kawasan meliputi kegiatan usaha pariwisata, penyediaan fasilitas umum, perbankan, biro perjalanan, pendidikan pariwisata, dan industri kreatif pariwisata;
e.   kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan budidaya penunjang pariwisata dan pendirian bangunan yang tidak mengganggu fungsi kawasan;
f.    kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang menghalangi dan/atau menutup lokasi dan jalur evakuasi bencana, serta kegiatan yang mengganggu fungsi kawasan.
(10)     Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5) huruf j, ditetapkan sebagai berikut:
a.   Kegiatan yang diperbolehkan pada kawasan peruntukan permukiman meliputi kegiatan permukiman dengan konsep langgam arsitektur budaya Batak dan menghadap danau, kantor pemerintahan kabupaten atau kecamatan, pariwisata, pertemuan, pameran, budaya, olah raga, RTH, pelayanan transportasi, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan perdagangan dan jasa serta sarana ibadah;
b.   Penyediaan RTH paling sedikit 30% dari luas kawasan;
c.   pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman harus didukung oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusat perdagangan dan jasa, perkantoran, sarana air bersih, persampahan, penanganan limbah dan drainase) dan fasilitas sosial (kesehatan, pendidikan, agama);
d.   tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;
e.   tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
f.    permukiman melalui pendirian bangunan yang layak huni dengan memperhatikan kesehatan lingkungan, kenyamanan, keselamatan dankemudahan;
g.   membatasi kegiatan komersil di kawasan perumahan.


Bagian Kedua
Ketentuan Umum Perizinan

Pasal 73
(1)  Segala bentuk kegiatan dan pembangunan prasarana harus memperoleh izin pemanfaatan ruang yang mengacu pada RTRW Kabupaten.
(2)  Setiap orang atau badan hukum yang memerlukan tanah dalam rangka penanaman modal wajib memperoleh izin pemanfaatan ruang dari Bupati.
(3)  Pelaksanaan prosedur izin pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang dengan mempertimbangkan rekomendasi hasil Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten Samosir.





Pasal 74
Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 berupa proses administrasi dan teknis yang harus dipenuhi sebelum kegiatan pemanfaatan ruang terdiri atas:
a.  Izin prinsip;
b.  Izin lokasi;
c.  Izin mendirikan bangunan;
d.  Izin penggunaan pemanfatan tanah (IPPT);dan
e.  Izin lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 75
(1)  Izin prinsip sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 72 huruf a diberikan berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten dan/atau rencana rinci tata ruang kabupaten.
(2)  Izin prinsip merupakan pemberian izin pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan.
(3)  Izin prinsip diberikan kepada setiap orang dan/atau korporasi/badan hukum yang akan melakukan kegiatan yang memanfaatkan ruang.
(4)  Izin prinsip diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan ruang.
(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin prinsip ditetapkan dengan peraturan bupati.


Pasal 76
(1)  Izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 72 huruf b diberikan berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten dan/atau rencana rinci tata ruang kabupaten.
(2)  Izin lokasi merupakan pemberian izin pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan.
(3)  Izin lokasi diberikan kepada setiap orang dan/atau korporasi/badan hukum yang akan melakukan kegiatan yang memanfaatkan ruang.
(4)  Izin lokasi diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan ruang.
(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin lokasi ditetapkan dengan peraturan bupati


Pasal 77
(1)  Izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 72 huruf c  merupakan izin untuk melakukan kegiatan pembangunan fisik bangunan.
(2)  Izin mendirikan bangunan diberikan kepada setiap orang dan/atau korporasi/badan hukum yang akan mendirikan bangunan.
(3)  Izin mendirikan bangunan diperuntukan bagi kegiatan pembangunan fisik bangunan.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin mendirikan bangunan ditetapkan melalui Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung.





Pasal 78
(1)  Izin penggunaan pemanfaatan tanah sebagimana dimaksud dalam pasal 72  huruf d  berupa izin pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan diberikan berdasarkan izin lokasi.
(2)  Izin penggunaan pemanfaatan tanah diberikan kepada setiap orang dan/atau korporasi/badan hukum yang akan mendirikan bangunan.
(3)  Izin penggunaan pemanfaatan tanah diperuntukan bagi kegiatan pembangunan fisik bangunan.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Izin penggunaan pemanfaatan tanah ditetapkan dengan peraturan bupati.


Pasal 79
(1)  Perizinan pemanfaatan ruang pada kawasan pengendalian ketat skala lokal diberikan oleh bupati.
(2)  Setiap pemanfaatan ruang harus mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan masing-masing sektor atau bidang yang mengatur jenis kegiatan pemanfaatan ruang yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sektor atau bidang terkait.
(3)  Kawasan pengendalian ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan yang memerlukan pengawasan secara khusus dan dibatasi pemanfaatannya untuk mempertahankan daya dukung, mencegah dampak negatif, dan menjamin proses pembangunan yang berkelanjutan.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan pemanfaatan ruang ditetapkan dengan peraturan bupati.


Pasal 80
(1)  Perizinan pemanfaatan ruang pada kawasan pengendalian ketat skala lokal diberikan oleh bupati.
(2)  Kawasan pengendalian ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan yang memerlukan pengawasan secara khusus dan dibatasi pemanfaatannya untuk mempertahankan daya dukung, mencegah dampak negatif, dan menjamin proses pembangunan yang berkelanjut.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan pemanfaatan ruang ditetapkan dengan peraturan bupati.


Bagian Keempat
Ketentuan Umum Insentif dan Disinsentif

Pasal 81
(1)   Insentif pemanfaatan ruang bertujuan untuk memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang, melalui:
a.     keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham;
b.     pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c.      kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
d.     pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau Pemerintah Kabupaten.
(2)   Disinsentif pemanfaatan ruang bertujuan untuk membatasi pertumbuhan atau mencegah kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, melalui:
a.    pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau
b.    pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.
(3)   Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak masyarakat.
(4)    Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh: Pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya; dan Pemerintah Kabupaten kepada masyarakat.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati.


Bagian Kelima
Arahan Sanksi

Pasal 82
(1)    Arahan sanksi sebagai salah satu cara dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
(2)    Setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran pemafaatan ruang dikenakan sanksi pidana dan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan perundang – undangan.
(3)    Pengenaan sanksi diberikan terhadap pelanggaran meliputi :
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur  ruang dan pola ruang wilayah provinsi berdasarkan peraturan daerah ini;
b. pelanggaran ketentuan indikasi arahan peraturan zonasi sistim nasional dan sistim provinsi, kawasan lindung, kawasan budidaya;
c.  pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan peraturan daerah ini;
d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan peraturan daerah ini;
e.  pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfatan ruang yang diterbitkan berdasarkan peraturan daerah ini;
f.   pemanfaatan ruang yang menghalangi aksesibilitas terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan
g.  pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar dan/atau tidak sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. pemberi izin yang melanggar kaidah dan ketentuan pemanfaatan ruang.
(4)    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini meliputi:
a.   Peringatan tertulis;
b.   Penghentian sementara kegiatan;
c.    Penghentian sementara pelayanan umum;
d.   Penutupan lokasi;
e.    Pencabutan izin;
f.    Pembatalan izin;
g.   Pembongkaran bangunan;
h.   Pemulihan fungsi ruang; dan
i.    Denda administratif.


Pasal 83
(1)  Tata cara pengenaan sanksi administrastif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 meliputi:
a.  peringatan tertulis;
b.  penghentian sementara kegiatan;
c.  penghentian sementara pelayanan umum;
d.  penutupan lokasi;
e.  pencabutan izin;
f.   pembatalan izin;
g.  pembongkaran bangunan; dan
h. pemulihan fungsi ruang;
(2)   Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan oleh pejabat yang berwenang dalam penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang melalui penerbitan surat peringatan tertulis sebanyak-banyaknya 3 (tiga).
(3)   Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui langkahlangkah sebagai berikut:
a.   penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b.   apabila pelanggar mengabaikan perintah penghentian kegiatan sementara, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara secara paksa terhadap kegiatan pemanfaatan ruang;
c.    pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan segera dilakukan tindakan penertiban oleh aparat penertiban;
d.   berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan penghentian kegiatan pemanfaatan ruang secara paksa; dan
e.   setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang berwenang melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang yang dihentikan tidak beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya kewajiban pelanggar untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku.
(4)  Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
  1. penerbitan surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang (membuat surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum);
  2. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum kepada pelanggar dengan memuat rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus;
  3. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum yang akan segera dilaksanakan, disertai rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus;
  4. pejabat yang berwenang menyampaikan perintah kepada penyedia jasa pelayanan umum untuk menghentikan pelayanan kepada pelanggar, disertai penjelasan secukupnya;
  5. penyedia jasa pelayanan umum menghentikan pelayanan kepada pelanggar; dan
  6. pengawasan terhadap penerapan sanksi penghentian sementara pelayanan umum dilakukan untuk memastikan tidak terdapat pelayanan umum kepada pelanggar sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku.
(5)   Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a.  penerbitan surat perintah penutupan lokasi dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b.  apabila pelanggar mengabaikan surat perintah yang disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penutupan lokasi kepada pelanggar;
c.  pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penutupan lokasi yang akan segera dilaksanakan;
d.  berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang dengan bantuan aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara paksa; dan
e.   pengawasan terhadap penerapan sanksi penutupan lokasi, untuk memastikan lokasi yang ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku.
(6)   Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
  1. menerbitkan surat pemberitahuan sekaligus pencabutan izin oleh pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
  2. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi pencabutan izin pemanfaatan ruang;
  3. pejabat yang berwenang memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pencabutan izin;
  4. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban mengajukan permohonan pencabutan izin kepada pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin;
  5. pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin menerbitkan keputusan pencabutan izin;
  6. memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dicabut, sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang secara permanen yang telah dicabut izinnya; dan
  7. apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan yang telah dicabut izinnya, pejabat yang berwenang melakukan penertiban kegiatan tanpa izin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(7)   Pembatalan izin sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a.  membuat lembar evaluasi yang berisikan perbedaan antara pemanfaatan ruang menurut dokumen perizinan denga arahan pola pemanfaatan ruang dalam rencana tata ruang yang berlaku;
b.  memberitahukan kepada pihak yang memanfaatkan ruang perihal rencana pembatalan izin, agar yang bersangkutan dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi hal-hal akibat pembatalan izin;
c.  menerbitkan surat keputusan pembatalan izin oleh pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
d.  memberitahukan kepada pemegang izin tentang keputusan pembatalan izin;
e.  menerbitkan surat keputusan pembatalan izin dari pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan izin; dan
f.   memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dibatalkan.
(8)   Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
  1. menerbitkan surat pemberitahuan perintah pembongkaran bangunan dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
  2. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi pembongkaran bangunan;
  3. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pembongkaran bangunan yang akan segera dilaksanakan; dan
  4. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan pembongkaran bangunan secara paksa.
(9)   Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a.  menetapkan ketentuan pemulihan fungsi ruang yang berisi bagian-bagian yang harus dipulihkan fungsinya dan cara pemulihannya;
b.  pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang menerbitkan surat pemberitahuan perintah pemulihan fungsi ruang;
c.  apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang;
d.  pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban, memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang yang harus dilaksanakan pelanggar dalam jangka waktu tertentu;
e.  pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dan melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi ruang;
f.   apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar belum melaksanakan pemulihan fungsi ruang, pejabat yang bertanggung jawab melakukan tindakan penertiban dapat melakukan tindakan paksa untuk melakukan pemulihan fungsi ruang; dan
g.  apabila pelanggar pada saat itu dinilai tidak mampu membiayai kegiatan pemulihan fungsi ruang, pemerintah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh pemerintah atas beban pelanggar di kemudian hari.
(10)    Denda administratif  yang dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif dan besarannya ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah kabupaten.


BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 84
(1)    Terhadap pelanggaran  sebagaimana dalam pasal 81 ayat (3) dapat dikenai sanksi pidana.
(2)    Pengenaan sanksi pidana diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 85
(1)  Penyelesaian sengketa penataan ruang diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2)  Dalam hal penyelesaian sengketa tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.


BAB XI
PENYIDIKAN

Pasal 86
(1)  Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kabupaten diberikan wewenang untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
(2)  Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari:
a.     menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang;
b.     meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan penataan ruang;
c.      meminta keterangan dan bahan bukti dari pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang;
d.     memeriksa dokumen-dokumen berkenaan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang;
e.      melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;
f.       meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang penataan ruang;
g.     menyuruh berhenti dan atau melarang sesorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h.     memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang;
i.       memanggil seseorang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j.       menghentikan penyidikan; dan
k.     melakukan tindakan lain yang dianggap perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang penataan ruang menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3)  Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.


BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT
Bagian Pertama
Hak

Pasal 87
Dalam kegiatan penataan ruang wilayah kabupaten, masyarakat berhak:
a.  mengetahui secara terbuka informasi dalam bentuk dokumen dan peta RTRW maupun produk turunannya;
b.  menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang;
c.  memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d.  mengajukan keberatan kepada Pemerintah Kabupaten terhadap pembangunan di wilayahnya yang tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten;
e.  mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada Pemerintah Kabupaten; dan
f.   mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah Kabupaten dan/atau pemegang ijin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten tersebut menimbulkan kerugian.


Pasal 88
(1)  Untuk mengetahui rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 huruf a selain masyarakat mengetahui Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dari Berita Acara Daerah Kabupaten, masyarakat mengetahui rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengumuman atau sosialisasi oleh Pemerintah Kabupaten pada tempat-tempat yang memungkinkan masyarakat mengetahuinya dengan mudah.
(2)  Pengumuman atau penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui masyarakat dari penempelan/pemasangan peta rencana tata ruang yang bersangkutan pada tempat-tempat umum dan kantor-kantor yang secara fungsional menangani rencana tata ruang tersebut.


Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 89
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a.    menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b.    memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemafaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c.    mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d.    memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang – undangan dinyatakan sebagai milik umum.


Pasal 90
(1)  Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
(2)  Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dipraktekkan masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras dan seimbang.


Bagian Ketiga
Peran Masyarakat

Pasal 91
Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan pada tahap:
a.    perencanaan tata ruang;
b.   pemanfaatan ruang; dan
c.    pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 92
Bentuk Peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang berupa:
a. masukan mengenai:
1.  persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2.  penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3.  pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan; dan
4.  perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau penetapan rencana tata ruang.
b. kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.


Pasal 93
Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang dapat berupa:
a.  masukan mengenai kebijakn pemanfaatan ruang;
b.  kerja sama dengan pemerintahan, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang;
c.  kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
d.  peningkatan efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.  kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan Kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.


Pasal 94
Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa:
a.    masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi;
b.    keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelakasanaan rencana tata ruang yang tela ditetapkan;
c.    pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan
d.    pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.


Pasal 95
(1)  Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara langsung dan/atau tertulis.
(2)  Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan kepada Bupati dan/atau unit kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati.
(3)  Pelaksanaan peran masyarakat dilakukan secara bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)  Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.






Kelembagaan
Pasal 96
1.     Dalam rangka mengkoordinasikan penataan ruang dan kerjasama antar sektor atau antar daerah bidang penataan ruang dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah .
2.     Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bupati.


BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 97
(1)    Jangka waktu RTRW Kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun sejak ditetapkan yaitu tahun 2018 dan dapat  ditinjau kembali satu kali dalam 5 (lima) tahun.
(2)    Dalam kondisi lingkungan stategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas teritorial wilayah yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, RTRW Kabupaten dapat ditinjau kembali lebih dari 1(satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(3)    Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika internal kabupaten.
(4)    Dengan berlakunya peraturan daerah ini maka perlu segera disusun Rencana Detail Tata Ruang dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun ke depan.
(5)    Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten dilengkapi dengan Buku Rencana dan Album Peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(6)    Dalam hal terbitnya peraturan dan/atau keputusan oleh Menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang Kehutanan terdapat bagian wilayah kabupaten yang kawasan hutannya belum ditetapkan pada saat Peraturan Daerah ini ditetapkan, maka dilaksanakan pengintegrasian perubahan kawasan hutan tersebut dalam peraturan daerah ini beserta rencana dan album peta sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan mengacu ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan.
(7)    Dalam hal terdapat usulan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis (DPCLS) yang masih membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(8)    Dalam hal terdapat penetapan batas wilayah oleh Menteri Dalam Negeri terhadap wilayah kabupaten/ kota lain berbatasan yang belum disepakati pada saat Peraturan daerah ini ditetapkan, rencana dan album peta sebagaimana dimaksud pada pasal 4 akan disesuaikan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia;
(9)    Perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting, cakupan luas dan bersifat strategis yang belum mendapat persetujuan digambarkan pada peta pola ruang dalam bentuk arsiran (holding zone) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini;
(10) Dalam hal terdapat peralihan fungsi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya dan merupakan kawasan terbangun sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan, digambarkan pada peta pola ruang dalam bentuk arsiran (spot zoning) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini;
(11) Dalam hal terbitnya peraturan dan/atau keputusan perubahan kawasan hutan oleh Menteri yang menangani urusan pemerintahan bidang kehutanan, maka dilaksanakan pengintegrasian perubahan kawasan hutan tersebut dalam Peraturan Daerah ini dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan;
(12) Dalam hal terdapat fungsi kawasan non-hutan yang masih berada dalam status kawasan hutan, diselesaikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 98
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
a.     izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
b.     izin pemanfaatan yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan:
1.   untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah ini;
2.   untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruangnya dilakukan dengan masa transisi selama 3 (tiga) tahun dan dilakukan penyesuaian dengan menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan
3.   untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak berdasarkan musyawarah mufakat.
c.     pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan daerah ini dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Daerah ini;
d.     pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai berikut :
1.   yang bertentangan dengan ketentuan peraturan daerah ini pemanfaatan ruang yang bersangkutan diterbitkan dan disesuaikan dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Daerah ini;
2.   yang sesuai dengan Ketentuan peraturan daerah ini, dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan.
e.     pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, agar dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan;
f.      Penetapan peruntukan kawasan pada Peraturan Daerah ini tidak menghalangi dan menggugurkan hak kepemilikan orang atau badan terhadap hak atas tanah atau lahan dengan pemanfaatan pada lahan sebagaimana dimaksud tetap mengacu kepada rencana peruntukan kawasan.

Pasal 99
Pada saat peraturan daerah ini mulai berlaku, kawasan permukiman dan pertanian akan dikeluarkan dari kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 100
Ketentuan lebih rinci mengenai arahan pemanfaatan ruang perairan dan ruang udara akan diatur lebih lanjut sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.


BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 101
a.     Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Bupati.
b.     Petunjuk pelaksaan tentang Peraturan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah ini akan diatur dalam Peraturan Bupati.
c.     Sejak berlakunya Peraturan Daerah ini, Peraturan Bupati tentang petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah harus telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Pasal 102
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Samosir.


Ditetapkan di   Pangururan
Pada Tanggal  ..................2018

BUPATI  SAMOSIR


RAPIDIN SIMBOLON

Diundangkan di Pangururan
Pada tanggal......................2018

  SEKRETARIS DAERAH
  KABUPATEN SAMOSIR


Drs. JABIAT SAGALA, M.Hum



LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2018 NOMOR .......
Salinan sesuai dengan aslinya